Tag

, , , , , , ,

Yudi Wahyudin

Bagi sebagian orang, menantikan kenikmatan surga adalah mimpi di siang bolong. Mereka berargumentasi bahwa dunia adalah kenyataan saat ini yang harus dihadapi. Mengingat nikmatnya surga di tengah kenyataan perjuangan hidup adalah keterlenaan, opium yang memabukkan, dan lari dari kenyataan hidup.

Ide ini—meski tidak utuh—berasal dari Karl Marx. Ia pernah bergumam, “Agama itu opium.” Mengambil agama sebagai jalan keluar sempitnya hidup adalah racun. Dengan mengutip kritik Feuerbach terhadap agama, Marx mengatakan bahwa agama timbul dari hakikat manusia itu sendiri, yaitu sifat egoisme yang selalu ingin meraih kebahagiaan dalam interaksi sosialnya. Seharusnya orang bergerak, berubah, dan tidak menyerah atau melakukan revolusi pada kenyataan hidup bukan ‘pasrah’ seperti dalam konsep fatalisme, katanya. Dalam titik ini, Marx nampaknya meyakini bahwa agama itu jabbariyyah [fatalis] seperti sangat ia fahami dalam kenyataan sehari-hari umat Katolik ketika menghadapi pedihnya hidup.

Namun penulis Das Kapital ini salah besar. Pertama, agama bukan hanya Katolik. Kedua, agama bukan kreasi manusia. Dan ketiga, fatalisme dalam Agama Islam adalah kesalahan cara beragama.

Islam memandang secara jernih bahwa dunia hakikatnya bukan ‘musuh’ dalam arti sebenarnya. Simak penjelasan Surat Al-Baqarah berikut ini,

فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ

“Maka syaithan menggelincirkan [fa-azalla] keduanya [Adam dan Hawa] hingga Allah mengeluarkan keduanya [ke dunia yang berbeda] dari keadaan asal keduanya [di surga]. Kemudian Kami katakan, ‘Turunlah [ihbitû], sebagian kalian dengan yang lainnya menjadi musuh [‘aduwwun]. Dan bagi kalian di bumi ada tempat tinggal dan kesenangan sementara [ilâ hinin].” (QS. Al-Baqarah, 36).

Menurut penulis, ayat  di atas menjelaskan beberapa hal berikut ini. Pertama, yang menggelincirkan [azalla] manusia adalah syaithan, bukan dunia. Dan syaithan itu termasuk bangsa jin dan manusia [Lihat QS. Al-Nas, 6]. Benar bahwa idenya dari Iblis, tapi yang membujuk Adam untuk melanggar titah Allah adalah Hawa. Sedangkan Adam—ketika melakukan kemaksiatan tersebut—telah menjadi bagian dari ‘kawan’ syaithan hingga kemudian mereka berdua taubat dengan taubat sebenar-benarnya.

Kedua, jika Marx menganggap agama sebagai opium, sebaliknya Islam tidak menganggap dunia sebagai candu. Setelah Adam dan Hawa keluar dari Surga ‘kampung halamannya’ menuju tempat persinggahan sementara, Allah memastikan bahwa manusia dan syaithan haram untuk berteman. Manusia disuruh tinggal di dunia [bukan menganggapnya opium] sekaligus diperintah untuk bermusuhan dengan syaithan, baik Jin maupun manusia. Satu dan lainnya menjadi musuh!

Ketiga, kenapa harus bermusuhan? Idenya sederhana. Allah menganggap dunia adalah tempat bersinggah sementara waktu [hînin] sedangkan Iblis memberikan perspektif yang bertolak belakang, yaitu dunia adalah tempat abadi [al-khuld]. Konsep Iblis dan syaithan mengenai dunia berakar dari sebuah keyakinan bahwa manusia itu berasal dari dunia, hidup di dan untuk dunia saja. Disitulah letak opiumnya. Padahal Islam berkeyakinan bahwa kita berasal dari Surga, hidup sementara di dunia, dan bekerja untuk kembali ke kampung halaman di akhirat.

Keempat, Islam tidak melarang manusia untuk bersenang-senang di dunia. Menjadi manusia bahagia di dunia bukanlah egoisme seperti Marx dan Feuerbach katakan. Oleh sebab itu, menjadi kaya adalah kesalahan bagi Marx—meski aneh jika kawannya Engel adalah seorang kaya raya. Marx beranggapan bahwa sistem kerja manusia bersumbu dan berpusat pada modal [das capital] saja. Kemudian pada perkembangannya skenario materialme historis ini melahirkan konsep manusia-manusia pragmatis yang saling memangsa dalam kelas-kelas sosial. Sedangkan menurut ayat di atas, egoisme terjadi ketika manusia menganggap bahwa kesenangan dunia adalah abadi  dan segalanya.

Kelima, agama Islam atau aturan hidup bukan diciptakan oleh manusia dalam proses sosialnya untuk melangsungkan sifat dasar egoismenya seperti yang Marx yakini. Al-Dîn itu adalah aturan hidup makhluk surga jika hendak berinteraksi dalam dimensi dunia. Oleh sebab aturan ini ditulis oleh Allah Pencipta surga dan dunia, maka aturan ini diberikan pada manusia justru untuk meredam egoism mereka, bukan sebaliknya seperti yang Marx tuduhkan.

Agama dalam ayat ini disebutkan secara tersirat dalam ungkapan, ‘aduwwun lakum [syaithan adalah musuh kalian]. Menurut Ibnu Taimiyyah, konsep aturan hidup beragama Islam bermula dari dua sisi: iqtidhâ ‘alâ shirâtil mustaqîm [beruswah pada penempuh jalan lurus] dan mukhâlafah ahlil jahîm [bersebrangan dengan perilaku penduduk neraka]. Oleh sebab itu, memusuhi ide syaithan [‘aduwwun lakum] termasuk sisi kedua dalam aturan Islam.

Keenam, ayat ini menolak tegas fatalisme yang sarat opium. Kata Ihbithû [turunlah] yang berasal dari habatha asal maknanya adalah turun gunung. Penjelajah hutan tahu persis, bagaimana proses turunnya seseorang dari gunung. Ia memadukan ilmu, upaya, dan keyakinan. Konsep agama Islam secara umum menegaskan bahwa keyakinan tanpa upaya adalah kebodohan. Sedangkan upaya tanpa ilmu adalah nekad alias bunuh diri.

Ketika Allah memerintahkan Adam dan Hawa untuk Ihbithû atau turun dari surga, Adam terlebih dahulu belajar segala hal [‘allama] dari Allah SWT [Lihat QS. Al-Baqarah, 31]. Kemudian sesampainya ia di dunia, ia berupaya sekuat tenaga untuk mencari pasangannya serta beradaptasi dengan lingkungan yang sangat berbeda dengan situasi sebelumnya di Surga. Situasi ini dijelaskan dengan ungkapan singkat dan padat, Fa-akhrajahumâ mimmâ kânâ fîhi. Maka Allah mengeluarkan keduanya ke dunia [yang berbeda] dari keadaan asal keduanya di surga. Kâna karena fi’lul mâdhi [past tense] diartikan keadaan sebelumnya atau asal. Ini berarti bahwa Adam faham betul, ilmu yang ia miliki sebelumnya harus diinterpretasikan dalam amal atau kerja nyata di dunia sebagai khalifah agar mudah beradaptasi dengan lingkungan baru yang berbeda dengan keadaan asalnya.

Amal dan kerja nyatanya ini akan berpulang sia-sia jika tidak berawal dan berakhir dengan sebuah keyakinan bahwa ia bisa kembali ke tempat asalnya. Oleh sebab itu Allah berfirman dalam ayat ini, “Bagi kalian di dunia itu ada tempat tinggal dan kesenangan sementara.” Adam adalah makhluk beriman dan seorang Nabi—walau ia sempat berdosa—yang memiliki keyakinan dengan yakin seyakin-yakinnya bahwa janji Allah adalah pasti terbukti. Jika Allah mengatakan dunia adalah sementara, ia yakin suatu hari akan kembali ke kampung halamannya yang abadi.

Konsep ini dijelaskan pula secara leksikal dalam kata Hînin [sementara]. Akar kata Hînin itu sendiri dapat diartikan ujian dan cobaan jika huruf ha dalam kata tersebut memakan baris fatah, yaitu al-hainu [ujian dan cobaan]. Ini menandakan bahwa menempuh ujian dan cobaan diperlukan ilmu, ikhtiar, dan keyakinan sekaligus. Dan ketiganya menemukan kesempurnaannya secara serasi dalam Agama Islam. Konsep keenam ini dengan jelas menolak keyakinan fatalisme, yaitu kepasrahan yang bersifat lari dari kenyataan dunia seperti keyakinan Jabbariyyah sekaligus membuang ke tempat sampah keyakinan Qadariyyah, atau sebuah keyakinan yang mengatakan bahwa manusia itu bebas bertindak dan tidak terikat dengan takdir Allah [free will].

Ketujuh, opium sebenarnya menurut ayat ini adalah keyakinan yang salah mengenai dunia, bukan dunianya itu sendiri. Atau jika dikaitkan dengan tesis Marx, bukan agama yang menjadi opium tapi cara beragama yang salahlah yang menjadi opium bagi manusia.

Akhirnya, kesalahan cara pandang Marxian—seperti Hegel yang dipengaruhi analisis Marx-Engels—adalah opium bagi mereka sendiri hingga berkutat pada tiga rangkaian tak berujung: tesis, anitesis, sintesis. Pada perkembangannya sintesis pun duduk pada posisi tesis yang kemudian bertemu antithesis hingga kemudian menjadi sintetis baru dan terus demikian hingga tak berakhir!

Sedangkan ayat ini menjelaskan bahwa surga adalah kampung halaman dan tempat asal, dunia tempat persinggahan sementara, agama adalah cara hidup di tempat persinggahan, dan suatu saat [jika mati atau kiamat] manusia harus kembali ke tempat asalnya dalam keadaan eternal [abadi] di tempat yang tidak ada lagi kehidupan setelah kehidupannya.

Walhasil, meski semua orang akan kembali, tetapi ada yang kembali ke kampung halaman manusia [surga] dan adapula yang kembali ke kampung musuhnya [neraka] karena terjebak opium syaithan. Oleh sebab itu, mengharapkan kenikmatan kampung halaman dan merasa takut disimpan di kampung musuh bukan opium yang meninabobokan perjuangan untuk beranjak dari keterpurukan dunia. Justru orang yang bekerja siang malam untuk kampong halamannya adalah orang-orang yang tercerahkan, memadukan ilmu, upaya, dan keyakinan dengan cara sebaik-baiknya dalam Islam.

Oleh sebab itu, pantaslah doa yang diajarkan Nabi Muhammad Saw., dalam riwayat Muslim berikut ini senantiasa kita dengungkan setiap hari.

اَللَّهُمَّ أصْلِحْ لِيْ دِيْنِيْ اَلَّذِيْ هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِيْ وَأَصْلِحْ لِيْ دُنْيَايَ اَلَّتِيْ فِيْهَا مَعَاشِيْ وَأَصْلِحْ لِيْ آخِرَتِيْ اَلَّتِيْ فِيْهَا مَعَادِيْ وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِيْ فِي كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لِيْ مِنْ كُلِّ شَرٍّ

Ya Allah, maslahatkan agamaku yang menjadi pegangan urusanku, maslahatkan dunia yang di sana kehidupanku, dan maslahatkan pula akhiratku yang ke sana aku akan kembali. Dan jadikanlah hidup ini sebagai alat penambah setiap kebaikan, sedangkan kematian menjadi penghenti bagiku dari setiap kejahatan. Wallahu’alam